Senin, 31 Maret 2008

PADU Penentu Mutu Sumber Daya Manusia

Bagi orangtua yang tahu, tampaknya tak perlu disangkal lagi bahwa pendidikan anak dini usia (PADU) sangat diperlukan untuk merangsang anak agar bisa tumbuh optiomal. Tapi ternyata bahkan di daerah perkotaan sekalipun, kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya PADU masih jauh dari harapan karena masih jadi sesuatu yang ekslusif.

“Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas anak di Indonesia Indonesia, tampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan,” kata Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas Fasli Jalal dalam Buletin PADU edisi Desember 2002.

Mengutip hasil penelitian Kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya pada 2001, tambah Fasli, menunjukkan bahwa kebanyakan warga masyarakat menilai pendidikan belum perlu diberikan pada anak dini usia. Bisa dibayangkan di daerah lain yang lebih terbelakang.

Menurutnya hal itu sangat wajar mengingat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PADU masih sangat rendah. Umumnya warga masyarakat berpandangan, kata dokter gizi medik yang pernah menjadi staf ahli di BKKBN ini, bahwa pendidikan identik dengan sekolah sehingga pendidikan di usia dini dinilai belum perlu.

Padahal, lanjutnya, kurangnya pemahaman akan konsep PADU sangat erat hubungannya dengan persoalan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia saat ini. Fasli mengungkapkan masalah pendidikan yang sangat mendasar masih berkisar pada pada belum tercapainya pemerataan.

Soal cakupan dan mutu
Data arus siswa dari Balitbang Diknas pada 2000 menunjukkan dari sekitar 26 juta anak usia 0-6 tahun, ungkapnya, baru sekitar 7,5 juta (27%) yang terlayani berbagai satuan pendidikan prasekolah atau PADU. Anak usia 4-6 tahun yang total jumlahnya 12,6 juta masih sekitar 8 juta (63,4%) yang belum terlayani pendidikannya.

Di samping itu belum semua anak usia 7-15 tahun tertampung di SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan SLTP/MTs (Madrasah Tsanawiyah). Untuk tingkat SD/MI (7-12 tahun) baru terlayani 24,4 juta dari 25,8 juta yang berarti ada 1,4 juta anak yang tidak bersekolah di SD/MI atau fasilitas yang ada baru mencakup 94,5% peserta didik.

Sedangkan usia SLTP/MTs (13-15 tahun) baru terlayani 7,29 juta dari 13,1 juta anak yang berarti ada 5,8 juta anak yang tidak sekolah atau cakupan peserta didik baru mencapai 55,7%. Jika melihat retensi kohor (waktu kelahiran sama), anak masuk SD yang langsung dapat melanjutkan sampai perguruan tinggi angkanya lebih rendah lagi.

Yaitu hanya 11,6% pada waktu yang seharusnya. Berarti sekitar 88,4% tertinggal di perjalanan dari jenjang pendidikan terendah, baik karena tinggal kelas, putus sekolah di berbagai jenjang selanjutnya maupun tidak melanjutkan lagi sekolahnya walaupun sudah lulus dari satu jenjang pendidikan.

Sementara itu masalah yang tak bisa diabaikan adalah rendahnya mutu hasil pendidikan. Penduduk buta huruf usia 10 tahun ke atas masih tinggi yaitu sekitar 18,7 juta orang (11%) dan usia 10-44 tahun tercatat 5,9 juta orang. Tingginya angka buta huruf karena masih terus terjadi siswa putus SD di kelas awal (1-3) yaitu 250.000-300.000 per tahun.


0 comments: