Ketika Musim PAUD Nonformal Bersemi
PAUD nonformal baru berkembang dalam satu dekade terakhir. Namun jumlahnya sudah puluhan ribu. Perlu sinergi antara PAUD Formal dan Nonformal.
Bulan Juli terasa istimewa bagi dunia anak. Maklum, setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN), yang diatur dalam Keppres RI No 44 Tahun 1984. Peringatan HAN tahun ini dipusatkan di kawasan Ancol, Jakarta, dihadiri Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Terminonogi usia anak mencakup 0-18 tahun. Di dalamnya tercakup rentang anak usia dini, yaitu 0-6 tahun. Memperbincangkan anak usia dini, sebenarnya sudah dipikirkan sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara. Persisnya, Bapak Pendidikan Indonesia itu membatasi usia dini adalah anak-anak di bawah 7 tahun. Ki Hajar menamai “sekolah anak-anak,” itu dengan Taman Indria. Taman Indria lahir di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Label ”indria” dipakai karena Ki Hajar mencermati bahwa anak usia di bawah 7 tahun lebih dominan belajar menggunakan indera (indria).
Gagasan dan penamaannya kalau dicermati lebih pas ketimbang lahirnya kindergarten yang dirintis Friedrich Wilhelm Frobel (1782-1852). Ahli pendidikan Jerman itu mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia pada 1837. Memang, penamaan kinder (anak-anak) dan garten (taman) pada akhirnya yang diadopsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang menggunakan istilah TK.
Sayangnya, perkembangan Taman Indria di lingkungan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara, tak berkembang bagus. Sementara (TK) tumbuh subur di banyak kota. Seperempat abad setelah merdeka, TK di Indonesia jumlahnya lebih dari 6.000 dengan murid lebih dari 343.000. Jumlahnya terus bertambah. Hingga akhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada 1974, TK membengkak menjadi 10.482 sekolah dengan murid tak kurang dari 392.000 (Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, 1995).
Dalam dua dekade belakangan, persisnya pada Pelita IV (1984/1985), jumlah TK mencapai 25.372 buah dengan guru sekira 56.000 orang. Setahun berikutnya, jumlah TK bertambah menjadi 26.500. Jumlah itu hanya mampu menampung sekira 1,26 juta anak atawa rata-rata satu TK berisi 50-an murid. Dari jumlah itu, hanya 1% saja yang merupakan TK negeri.
Di tahun 2000, jumlah TK ada 41.317. Bertambah banyak memang, tapi jumlah TK negeri malahan berkurang menjadi 225 (0,54%). Jumlah guru TK sebanyak 95.000 untuk mendidik 1,6 juta murid. Sayangnya, perkembangan TK itu tak sepadan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada. Hingga 2000 itu, TK yang ada hanya menyerap 12,65% dari total anak usia 4-6 tahun atawa sekira 12,6 juta anak.
Ki Hajar rasanya akan gundah menyaksikan jumlah TK yang sudah banyak itu ternyata belum menjangkau sekujur pelosok negeri. Data Departemen Pendidikan Nasional hingga akhir 2006 mencatat jumlah TK sebanyak 54.742. Dari jumlah itu, hanya 1,3% atawa 708 TK milik pemerintah. Selebihnya, 54.034 (98,7%) diselenggarakan swasta. Tentu saja jumlah ini tak sebanding bila disandingkan dengan jumlah SD yang sekira 150.000 sekolah, lebih dari 95% di antaranya berstatus sekolah negeri.
Belum lagi bila bicara jumlah anak usia TK yang belum terlayani. Menurut data Depdiknas, hingga akhir 2006 dari jumlah anak usia 4-6 tahun sebanyak 11.359.805, hanya 3.723.924 atau 32,78% yang sudah mencicipi pendidikan di TK. Dalam istilah pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat Taman Kanak-kanak (TK) mencapai 32,78%. “Jika ditambah pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal, total APK-nya menjadi 45,63%,” kata Drs Mudjito Ak, Msi, Direktur Pembinaan TK-SD, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.
Yang disebut PAUD nonformal adalah ”sekolah” yang dikenal masyarakat sebagai Kelompok Bermain (playgroup) dan Taman Penitipan Anak (TPA). Sesuai Pasal 28 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PAUD diselenggarakan melalui tiga jalur: formal, nonformal dan informal. PAUD jalur formal diselenggarakan dalam bentuk TK dan raudlatul athfal alias TK Islam. Jalur nonformal khusus menangani anak-anak usia 2-4 tahun yang diserap Kelompok Bermain (Play Group) dan Tempat Penitipan Anak. Sedangkan jalur informal adalah pendidikan di keluarga.
Jumlah anak usia dini hingga akhir 2006 tercatat sebanyak 28.364.300. Anak yang menikmati layanan pendidikan anak usia dini, baik formal dan nonformal, jumlahnya mencapai 13.223.812. Dari angka-angka itu, nyata terlihat bahwa lebih dari separuh anak-anak belum terlayani pendidikannya. Tingkat APK TK pun terendah dibanding APK SD yang 115%, SMP (88,68%), dan SMA (55%).
Angka partisipasi PAUD Indonesia pun menurut laporan Unesco tahun 2005, terendah di dunia, baru sekitar 20% dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun. Di dunia internasional, PAUD didefinisikan sebagai pendidikan bagi anak usia 0 sampai 8 tahun. Sedangkan Indonesia kategori PAUD, untuk usia 0-6 tahun. Unesco mencatat angka partisipasi PAUD di Indonesia lebih rendah dari Thailand (86%), Malaysia (89%), bahkan Filipina (27%) dan Vietnam (43%).
Prof. Dr. Bambang Sudibyo sejak menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Oktober 2004, menyatakan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD. Mendiknas meyakini PAUD berdampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Selain itu juga berpengaruh pada kenaikan angka indeks pembangunan manusia (HDI/Human Development Index) Indonesia.
Mendiknas mengibaratkan PAUD sebagai masa kecambah. ”Agar kecambah itu tumbuh secara normal, pendidikan di usia ini lebih mementingkan proses pembelajaran melalui bermain. Setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai keunikan sendiri. Melalui pendidikan PAUD inilah keunikan tersebut dapat digali,” katanya. Mendiknas berharap pengembangan PAUD, khusus PAUD nonformal, selalu mengacu pada Rencana dan Strategi Depdiknas 2005-2009.
Bulan Juli terasa istimewa bagi dunia anak. Maklum, setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN), yang diatur dalam Keppres RI No 44 Tahun 1984. Peringatan HAN tahun ini dipusatkan di kawasan Ancol, Jakarta, dihadiri Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Terminonogi usia anak mencakup 0-18 tahun. Di dalamnya tercakup rentang anak usia dini, yaitu 0-6 tahun. Memperbincangkan anak usia dini, sebenarnya sudah dipikirkan sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara. Persisnya, Bapak Pendidikan Indonesia itu membatasi usia dini adalah anak-anak di bawah 7 tahun. Ki Hajar menamai “sekolah anak-anak,” itu dengan Taman Indria. Taman Indria lahir di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Label ”indria” dipakai karena Ki Hajar mencermati bahwa anak usia di bawah 7 tahun lebih dominan belajar menggunakan indera (indria).
Gagasan dan penamaannya kalau dicermati lebih pas ketimbang lahirnya kindergarten yang dirintis Friedrich Wilhelm Frobel (1782-1852). Ahli pendidikan Jerman itu mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia pada 1837. Memang, penamaan kinder (anak-anak) dan garten (taman) pada akhirnya yang diadopsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang menggunakan istilah TK.
Sayangnya, perkembangan Taman Indria di lingkungan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara, tak berkembang bagus. Sementara (TK) tumbuh subur di banyak kota. Seperempat abad setelah merdeka, TK di Indonesia jumlahnya lebih dari 6.000 dengan murid lebih dari 343.000. Jumlahnya terus bertambah. Hingga akhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada 1974, TK membengkak menjadi 10.482 sekolah dengan murid tak kurang dari 392.000 (Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, 1995).
Dalam dua dekade belakangan, persisnya pada Pelita IV (1984/1985), jumlah TK mencapai 25.372 buah dengan guru sekira 56.000 orang. Setahun berikutnya, jumlah TK bertambah menjadi 26.500. Jumlah itu hanya mampu menampung sekira 1,26 juta anak atawa rata-rata satu TK berisi 50-an murid. Dari jumlah itu, hanya 1% saja yang merupakan TK negeri.
Di tahun 2000, jumlah TK ada 41.317. Bertambah banyak memang, tapi jumlah TK negeri malahan berkurang menjadi 225 (0,54%). Jumlah guru TK sebanyak 95.000 untuk mendidik 1,6 juta murid. Sayangnya, perkembangan TK itu tak sepadan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada. Hingga 2000 itu, TK yang ada hanya menyerap 12,65% dari total anak usia 4-6 tahun atawa sekira 12,6 juta anak.
Ki Hajar rasanya akan gundah menyaksikan jumlah TK yang sudah banyak itu ternyata belum menjangkau sekujur pelosok negeri. Data Departemen Pendidikan Nasional hingga akhir 2006 mencatat jumlah TK sebanyak 54.742. Dari jumlah itu, hanya 1,3% atawa 708 TK milik pemerintah. Selebihnya, 54.034 (98,7%) diselenggarakan swasta. Tentu saja jumlah ini tak sebanding bila disandingkan dengan jumlah SD yang sekira 150.000 sekolah, lebih dari 95% di antaranya berstatus sekolah negeri.
Belum lagi bila bicara jumlah anak usia TK yang belum terlayani. Menurut data Depdiknas, hingga akhir 2006 dari jumlah anak usia 4-6 tahun sebanyak 11.359.805, hanya 3.723.924 atau 32,78% yang sudah mencicipi pendidikan di TK. Dalam istilah pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat Taman Kanak-kanak (TK) mencapai 32,78%. “Jika ditambah pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal, total APK-nya menjadi 45,63%,” kata Drs Mudjito Ak, Msi, Direktur Pembinaan TK-SD, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.
Yang disebut PAUD nonformal adalah ”sekolah” yang dikenal masyarakat sebagai Kelompok Bermain (playgroup) dan Taman Penitipan Anak (TPA). Sesuai Pasal 28 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PAUD diselenggarakan melalui tiga jalur: formal, nonformal dan informal. PAUD jalur formal diselenggarakan dalam bentuk TK dan raudlatul athfal alias TK Islam. Jalur nonformal khusus menangani anak-anak usia 2-4 tahun yang diserap Kelompok Bermain (Play Group) dan Tempat Penitipan Anak. Sedangkan jalur informal adalah pendidikan di keluarga.
Jumlah anak usia dini hingga akhir 2006 tercatat sebanyak 28.364.300. Anak yang menikmati layanan pendidikan anak usia dini, baik formal dan nonformal, jumlahnya mencapai 13.223.812. Dari angka-angka itu, nyata terlihat bahwa lebih dari separuh anak-anak belum terlayani pendidikannya. Tingkat APK TK pun terendah dibanding APK SD yang 115%, SMP (88,68%), dan SMA (55%).
Angka partisipasi PAUD Indonesia pun menurut laporan Unesco tahun 2005, terendah di dunia, baru sekitar 20% dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun. Di dunia internasional, PAUD didefinisikan sebagai pendidikan bagi anak usia 0 sampai 8 tahun. Sedangkan Indonesia kategori PAUD, untuk usia 0-6 tahun. Unesco mencatat angka partisipasi PAUD di Indonesia lebih rendah dari Thailand (86%), Malaysia (89%), bahkan Filipina (27%) dan Vietnam (43%).
Prof. Dr. Bambang Sudibyo sejak menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Oktober 2004, menyatakan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD. Mendiknas meyakini PAUD berdampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Selain itu juga berpengaruh pada kenaikan angka indeks pembangunan manusia (HDI/Human Development Index) Indonesia.
Mendiknas mengibaratkan PAUD sebagai masa kecambah. ”Agar kecambah itu tumbuh secara normal, pendidikan di usia ini lebih mementingkan proses pembelajaran melalui bermain. Setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai keunikan sendiri. Melalui pendidikan PAUD inilah keunikan tersebut dapat digali,” katanya. Mendiknas berharap pengembangan PAUD, khusus PAUD nonformal, selalu mengacu pada Rencana dan Strategi Depdiknas 2005-2009.
0 comments:
Posting Komentar