Senin, 12 Mei 2008

PAUD atau PADU, Dimana Titik Temunya

KabarIndonesia - Pendidikan Awal Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Anak Dini Usia (PADU).

Pengertian PAUD dan PADU sering dicampur-adukkan.

1. PAUD adalah pendidikan luar sekolah seperti Kelompok Bermain dan Penitipan Anak, yang umumnya berjalan sendiri-sendiri dengan polanya masing-masing, sedangkan PADU adalah pendidikan sekolah seperti Taman Kanak-kanak (TK), yang sudah mulai dibina dan diasuh oleh Depdiknas.
2. PAUD dipahami sebagai program persiapan untuk masuk TK, sedangkan PADU dimengerti tidak lebih sebagai institusi persiapan masuk SD. Akibatnya PAUD dianggap melulu sebagai kegiatan bermain dan PADU akan mempunyai bobot lebih bila tidak banyak memasukkan kegiatan bermain, padahal pandangan seperti ini keliru. "Bahkan banyak orang tua yang berharap anaknya dapat baca, tulis dan berhitung setelah lulus PADU. Kesalahpahaman ini sangat mengganggu, " ujar Fasli Djalal (sekarang Dirjen Dikti Depdiknas). Padahal untuk memberikan pelayanan usia dini, unsur permainan ini yang seharusnya lebih menonjol. Bermain untuk belajar dan bukan belajar untuk belajar.


Pedoman yang bisa dipegang adalah pengertian yang ditelusur dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang menyatakan bahwa : Yang menjadi subyek dari PAUD adalah anak-anak pada usia muda (balita), sedang yang menjadi subyek dalam PADU adalah pendidikan. Karena subyeknya berbeda, maka telaah dan implementasinyapun akan jauh berbeda. Oleh sebab itu Pemerintah berhak mengawal PADU dan tak bisa campur tangan dalam PAUD (karena subyek balita dianggap masuk ke ranah keluarga atau ranah privat). Hal ini nampak jelas dalam definisi Pemerintah tentang pendidikan prasekolah dan tafsir Pemerintah atas hakekat PADU.

Untuk menghindari masalah multi tafsir pengertian PADU, Pemerintah mengeluarkan PP no. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah yang tujuannya : membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Namun pengertian pendidikan prasekolah ini banyak yang direduksi dalam masyarakat. Istilah PADU belum jelas dipahami benar oleh masyarakat. Seringkali rancu bahwa PADU masih diumpamakan persiapan pendidikan sebelum masuk sekolah dasar. Pengertian Taman Kanak-kanak pun tak lebih dari sekedar sekolah persiapan.

Oleh karena itu, maka penjabaran PADU disosialisasikan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 51/0/2001 tanggal 19 April 2001 yang mengintegrasikan antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi.
Ketiga faktor ini merupakan:

* faktor penentu bagi tingkat intelektual, kecerdasan dan tumbuh kembang anak, serta
* faktor pencegah kurangnya stimulasi yang diterima anak pada usia dini, yang bisa menyebabkan masa keemasan perkembangan anak hilang dan tersia-siakan begitu saja

Lalu mengapa Pemerintah hanya mengatur soal PADU dan "memisahkannya" dari PAUD? Karena Pemerintah selama ini menganut paham continental yang menganggap anak sebelum umur 4 tahun belum layak untuk "disapih" ("dipisahkan" dari orang tuanya) sehingga PAUD selalu dianggap sebagai domain keluarga

Apa yang penting (baik untuk PAUD maupun PADU)? Jawabnya adalah bermain. Selain memberikan kesenangan, bermain mampu mengembangkan daya imajinasi anak. Bermain merupakan salah satu pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi anak usia dini. Aktivitas bermain perlu dilakukan karena anak membutuhkan pengalaman langsung dalam inter-aksi sosial yang menjadi modal dasar bersosialisasi. Dalam bermain, mereka akan melibatkan seluruh pikiran, tubuh dan spirit mereka. Proses ini merangsang perkembangan berbagai bagian otak sehingga mampu menstimulasi kecerdasan.

Ada sembilan kecerdasan dalam teori multiple intelligences yang dapat distimulasikan melalui permainan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata-kata), logika-matematika (cerdas angka), visual-spatial (cerdas gambar), gerak-kinestetik (cerdas tubuh), musical (cerdas musik), intra-personal (cerdas diri), interpersonal (cerdas antar-orang), naturalis (cerdas alam), dan eksistensialis (cerdas hakekat).Perkembangan tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor mencakup faktor biologis, sejarah hidup pribadi, dan latar belakang kultural & historis. Tingkat perkembangan multiple intelligences anak usia 4-5 tahun (yang selama ini digolongkan dalam PAUD) berbeda dengan anak usia 5-6 tahun (yang selama ini dimasukkan dalam PADU).

Pada anak usia 4-5 tahun, pola pikir mereka masih egosentris dan belum dimensional. Mereka juga belum mampu mengambil perspektif orang lain. Sedangkan pada anak usia 5-6 tahun, selain lebih memahami sudut pandang orang lain, mereka juga mampu memfokuskan diri pada berbagai aspek permasalahan sekaligus serta mengubah pikiran.

Dalam buku Cerdas Melalui Bermain : Cara Mengasah Multiple Intelligences pada Anak sejak Usia Dini oleh Tadkiroatun Musfiroh (Grasindo, Jkt, 2008) diulas berbagai jenis permainan untuk menstimulasi multiple intelligences dari kedua kelompok usia di atas berikut tabel indikator pencapaian stimulasi kecerdasan.
Dengan demikian, anak sungguh-sungguh dapat bermain untuk belajar dengan tolok ukur yang jelas dan terukur.

Langkah apa yang perlu diperhatikan (baik untuk PAUD maupun PADU)(a) availability, (b) accessibility, (c) acceptability, (d) adaptability. Merujuk pada pasal 26 ayat 2 DUHAM (Deklarasi Universal HAM) 1948, keempat aspek di atas akan menentukan ketercapaian pemenuhan sarana pembelajaran yang terpenting yaitu ketrampilan membaca, menyatakan pendapat, kemampuan berhitung dan pemecahan masalah serta penguasaan isi dari dasar-dasar pembelajaran yaitu pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai hidup dan sikap (essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values and attitudes) - (lihat lampiran).

Tanpa memperhatikan keempat aspek di atas, baik PAUD maupun PADU akan kehilangan arah dan tujuan eksistensinya, yang hasilnya adalah belajar sambil bermain (buahnya adalah main-main) atau belajar untuk belajar (buahnya adalah pengkarbitan anak)

Lampiran Konvensi tentang Hak-hak Anak (1989) pasal 28:

* ayat 1 : States parties recognize the right of the child to education, and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall, in particular : (a) Make primary education compulsory and available free for all; (e) Take measures to encourage regular attendance at schools and the reduction of drop-out rates
* (Negara-negara pihak mengakui hak anak atas pendidikan, dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama, khususnya mereka akan : (a) menetapkan agar pendidikan dasar menjadi wajib dan tersedia secara cuma-cuma untuk semua anak; (e) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan untuk menurunkan tingkat putus sekolah)

Indikatornya : Merujuk pada pasal 26 ayat 2 DUHAM 1948 dan pasal 13 ayat 1 Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966, tujuan pendidikan yang paling fundamental adalah education shall be directed to the full development of the human personality. Dalam preliminary report-nya (1999) kepada Commission on Human Rights United Nations, pelapor khusus hak atas pendidikan, Katarina Tomasevski, mengemukakan empat cirri-ciri yang esensial yang perlu diperhatikan, yaitu : (a) availability, (b) accessibility, (c) acceptability, (d) adaptability. Untuk memperoleh penjelasan tentang empat ciri-ciri tersebut, berikut ini dikutipkan butir 6 General Comments E/C.12/1999/10, 8 Desember 1999 :

* (a) availability : berbagai institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai, dengan fasilitas sanitasi, guru-guru yang terlatih dan materi-materi pengajaran yang memadai
* (b) accessibility : berbagai institusi dan program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, terutama oleh kelompok-kelompok yang paling rentan
* (c) acceptability : bentuk dan isi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajarannya dapat diterima, relevan, sesuai dengan budaya siswa dan berkualitas
* (d) adaptability : pendidikan harus fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan perubahan social dan komunitas serta mampu merespons kebutuhan siswa tanpa membedakan status sosial dan budayanya.

Dalam butir 9 General Comments, basic learning needs didefinisikan sebagai :"essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values and attitudes) required by human being to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions, and to continue learning"


Daftar Pustaka:
Damanik, Jayadi, et al, 2005 Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan, Komnas HAM, Jakarta, 86 hal.Freire, Paulo, 2001 Pedagogi Hati, Kanisius, Yogyakarta, 167 hal.Litbang Kompas, 2008Mencerdaskan Anak Usia Dini, Kompas Minggu, 20 April 2008
halaman 11Musfiroh, Tadkiroatun, 2008
Cerdas Melalui Bermain : Cara Mengasah Multiple Intelligences pada Anak sejak Usia Dini, PT Grasindo, Jakarta, 300 hal.Ramly, Nadjamudin, 2005
Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Grafindo, Jakarta, 275 hal.


1 comments:

Unknown mengatakan...

PMeskipun PAUD punya payung hukum dalam Sisdiknas, terlintas pertanyaan awam, kenapa juga Negara sampai mengatur bahkan mengamanatkan dalam UU Sisdiknas untuk memasukan Pendidikan Anak Usia Dini kedalam satu sistem Pendidikan yang niscaya berujung pada generalisasi dan unifikasi pendidikan bagi anak usia dini. Se informal apapun proses belajar dalam konsep PAUD, tetap akan mempola daya pikir anak pada satu pola baku, justru pada usia dini. Hal ini bukan tidak mungkin akan berujung pada pembentukan "generasi seragam" berikutnya. Bukankah lebih baik untuk anak usia dini, lebih baik negara memposisikan diri sebagai Nacht wakker staat, ketimbang merasuk terlalu jauh dengan dalih welfare state. Artikel PAUD atau PADU cukup menunjukan status quo PAUD dalam skeptisisme quo vadis. Tak akan ada titik temu itu, kecuali kita bisa membayangkan: Apa yang akan terjadi jika Departemen Pendidikan nasional di bubarkan, apakah pendidikan akan berhenti, saya kira tidak. Dengan ada atau tidak ada Depdiknas pendidikan akan terus berjalan, dengan ada PAUD atau tidak ada PAUD, anak usia dini akan tetap mendapatkan pendidikan informal dalam berbagai bentuk.
Bila dalihnya adalah untuk menyiapkan next generation lebih baik, sebaiknya semua energi dicurahkan pada proses penyuksesan Wajardikdas 9 tahun dengan sebaik-baiknya, pengawasan yang ketat terutama akuntabilitas kinerja para stake holder terutama didaerah. ini penting, karena otonomi daerah telah memotong garis komando antara pusat dan daerah sehingga ketika ada kucuran program, baik DAK,DEKON,dll yang bersumber dari Propinsi dan Pusat, pejabat daerah menganggapnya sebagai dana segar yang bisa dengan mudah dimanipulasi karena rentang kendali-pengawasan- yang canggung antara kewenangan pusat dan daerah, sementara Bawasda kabupaten lebih berkonsentrasi pada anggaran APBD II, diimbuhi kecanggungan Provinsi dalam proses Monev. Dalam hal ini PAUD yang indikator keberhasilannya tidak sedahsyat UNAS/UAN sangat mungkin untuk dilaksanakan sekedarnya saja.

terima kasih


atepys@yahoo.co.id
www.pucukdaun.multiply.com