Sabtu, 19 April 2008

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Menghimpit TK

Pelan tapi pasti orangtua semakin banyak melirik ke lembaga PAUD nonformal. Misalnya, Eddy Susanto yang menitipkan anak mereka Celine Alifia ke TPA Kasih Ibu, milik Yayasan Bunga Bangsa, Semarang. ”Pengasuhan dan kesehatan anak kami terlayani dengan baik karena gizi dan nutrisi sangat diperhatikan di TPA. Anak kami juga jadi lebih mandiri, mampu berkonsentrasi dan bersosialisasi dengan baik. Stimulasi pendidikan di sini sesuai dengan tahap perkembangan anak kami,” kata Eddy Susanto, seperti dikutip majalah Bunga Bangsa.

Beruntung bagi Yayasan Bunga Bangsa yang membuka PAUD bukan cuma TK tapi sekaligus Play Group. Juga lembaga lain yang membuka PAUD nonformal macam Kelompok Bermain dan TPA sekaligus TK. Namun mereka yang cuma punya TK, meski dibagi menjadi TK kecil (untuk anak usia di bawah 5 tahun) dan TK besar (untuk anak usia di atas 5 tahun), merasakan dampak tak sedap kehadiran PAUD nonformal.

Sepak terjang PAUD yang sukses mendapat sambutan masyarakat itu menuai protes dari kalangan penyelenggara TK. Ketika ada pertemuan guru TK yang tergabung dalam Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTK) dan pengelola TK dalam wadah Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPKTI) di kantor Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, 19 Juni 2007, yang dipantau wartawan PENA Pendidikan, tumpah ruahlah keluhan para guru dan pengelola TK.

Delegasi dari IGTKI Sukabumi, misalnya, menilai Gerakan Sejuta PAUD menimbulkan bentrok di lapangan dengan TK. “Banyak masyarakat yang semula akan memasukkan anaknya ke TK akhirnya tersedot ke PAUD,” katanya. Gerakan Sejuta PAUD memang diluncurkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam memperluas akses PAUD.

Orangtua lebih memilih memasukkan anaknya ke PAUD karena gratis, ketimbang TK yang mesti keluar biaya. PAUD nonformal yang digalakkan dalam Gerakan Sejuta PAUD memang tak memungut biaya sepeser pun alias cuma-cuma. Padahal anak-anak juga mendapat beragam pendidikan yang juga diajarkan di TK.

Mereka juga menyoal anggaran yang timpang. “TK hanya kebagian Rp 3 juta untuk tahun ini. Sementara PAUD mendapat Rp 12 juta. Padahal TK sudah lebih lama beroperasi daripada PAUD,” kata guru asal Sukabumi itu bersungut.

Yang lebih parah, masih menurut guru TK asal Sumedang, ada beberapa TK gulung tikar karena terhimpit Gerakan Sejuta PAUD. (Lihat: Ketika Kakak Iri pada Adiknya)

TK yang tidak tanggap dengan perkembangan pendidikan terhadap anak memang bisa tergerus oleh lembaga PAUD baru. Biasanya lembaga PAUD yang bermunculan hadir dengan banyak kelebihan. Dari sarana dan prasarana yang oke, pengasuhan dan layanan kesehatan, hingga metode pembelajaran yang sesuai perkembangan usia anak. Sementara sebagian TK yang berjalan ala kadarnya tergerus kehadiran PAUD nonformal.

Mudjito mengakui nasib TK memang belum menggembirakan. ”Kondisi sarana dan prasarana TK masih memprihatinkan. Maklum, sebagian besar TK diusahakan swasta,” kata Mudjito.

Selain itu, kata Mudjito, dari sisi proses pembelajaran, juga marak terjadi praktik kekeliruan lantaran rendahnya kompetensi guru TK. Guru TK justru berlomba-lomba memaksakan pengajaran baca-tulis-hitung secara klasikal, yang secara psikologis justru bertentangan dengan kodrat anak itu sendiri yakni bermain sambil belajar.

Menurut pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Profesor Dr. Conny Semiawan buruknya penyelenggaraan pendidikan TK selama ini bukan semata-mata disebabkan kurang pahamnya masyarakat terhadap hakikat dan pentingnya pendidikan TK. “Pemerintah kurang memiliki senses yang tinggi untuk melayani pendidikan anak-anak usia dini. Padahal, pendidikan bagi anak usia dini sangat menentukan bagi pembentukan karakter, kepribadian, dan perilaku manusia setelah dewasa,” kata mantan Kepala Pusat Kurikululum Departemen Pendidikan Nasional itu, seperti dikutip buku Taman Yang Paling Indah, Jangan Remehkan Taman Kanak-kanak (2007) yang ditulis Saiful Anam.

Persinggungan PAUD dan TK juga terjadi di sejumlah daerah yang lembaga PAUD-nya mulai banyak dikembangkan. Namun, sebenarnya tidak semua daerah bisa mengembangkan PAUD sepesat Jawa Barat dengan Gerakan Sejuta PAUD, atau Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Seribu Pos PAUD. Apalagi semaju Jawa Timur yang dikenal sebagai daerah yang paling cepat mengembangkan PAUD.

Seperti Sumatera Barat misalnya. APK PAUD di sana memang naik pesat dalam dua terakhir. Namun angkanya masih sangat rendah. Dari 21% pada awal tahun 2006, menjadi 29% pada awal 2007 ini. Menurut data Dinas Pendidikan Sumbar, jumlah lembaga PAUD nonformal di sana 425 buah yang menjangkau 10.000-an anak. Sedangkan TK jumlahnya 1.585 sekolah. Jumlah ini tidak sepadan dengan anak usia 0-6 tahun yang mencapai 639.537.

Lambatnya perkembangan PAUD karena masyarakat Urang Awak sendiri menilai PAUD adalah “pendidikan luar sekolah”. ”Sebagian besar masyarakat beranggapan pendidikan anak baru dimulai pada umur 6 tahun. Mereka menganggap pendidikan di bawah umur itu tidak penting,” kata Dr. Ir. Rahmat Syahni, M.Sc, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Masyarakat Minang sendiri sejak zaman lampau sebenarnya tergolong masyarakat yang melek pendidikan. ”Pendidikan adalah tradisi orang Minang. Para orangtua rela miskin asal anaknya bersekolah,” kata Rahmat. Hanya saja, PAUD, masih melekat stigma sebagai pendidikan di luar sekolah.

Tidak berkembangnya PAUD di Sumbar juga disebabkan anggaran yang belum tersedia. Para penyelenggara PAUD menganggap akan terus menerima bantuan dari pemerintah untuk mengelola PAUD. Padahal, pemerintah hanya memberikan dana rintisan. Buntutnya, ketika bantuan pemerintah tak ada lagi, banyak pengelenggara PAUD menutup kegiatannya. (Lihat: Tradisi Pendidikan Urang Awak)

Ada baiknya daerah-daerah meniru Jawa Timur dalam mensinergikan PAUD nonformal dan formal. Sebagai provinsi yang perkembangan PAUD-nya paling pesat, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, mengimbau ribuan TK yang sudah didorong membuka Kelompok Bermain (KB), yang merupakan bagian dari PAUD nonformal. Sedangkan bagi PAUD nonformal yang mapan diminta membuka TK.

Hingga Juni 2007, Jatim punya kurang lebih 16.500 TK, hanya 65 berstatus negeri, dan sekitar 6000 PAUD nonformal yang semuanya diselenggarakan swasta. Meski begitu, secara komulatif angka partisipasi kasar PAUD belum mencapai 50%.



0 comments: