Rabu, 18 Juni 2008

Yang Beda dari KKN PBA

Tujuan KKN adalah pengabdian masyarakat. Bukan proyek.

Halaman Auditorium I nampak ramai. Tempat yang biasanya sepi itu, Senin (9/7/2007), sekitar pukul 07.00 WIB dipenuhi oleh ratusan mahasiswa.
Bersama kelompoknya masing-masing, mereka mengikuti upacara pemberangkatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang segera diterjunkan di Kabupaten Kendal.

“KKN kali ini berbeda. KKN kali ini bersifat tematik, yaitu berkonsentrasi pada penuntasan buta aksara,” kata Rektor IAIN Walisongo Prof. Dr. Abdul Djamil, MA dalam sambutan upacara pelepasan KKN tersebut.

Memang, sejak tahun 2007 ini, 28 Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta di Jawa Tengah, bekerja sama dengan pemerintah Provinsi Jawa Tengah, mengarahkan orientasi KKN mahasiswa pada pemberantasan buta aksara (PBA).

Drs Mudhofi, M.Ag., sekretaris PPM IAIN Walisongo menegaskan, pada tanggal 12 April 2007, 28 Rektor perguruan tinggi dan Gubernur Jateng menandatangani MoU (Memorium of Understanding) atas program ini.

Kepala Renbang (Rencana dan Pengembangan) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Drs Jasman Hendratno, M.Si., sang penggagas program mengatakan, KKN PBA ini berawal dari kegelisahan melihat begitu banyaknya msyarakat yang masih menyandang buta aksara.

Penelitian yang dilakukan HDI (Human Development Index), katanya, Indonesia menempati posisi ke-111 dari 117 negara penyandang buta aksara di dunia. “Di Indonesia, Jawa Tengah menempati posisi kedua terbanyak setelah Jawa Timur.”
Sementara dalam catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan Olah Raga tahun 2007, di Jawa Tengah, angka buta aksara mencapai 2,690,225 jiwa yang terbagi dalam 35 kabupaten/kota.


Berdasarkan penelitian HDI dan catatan dari Dinas Pendidikan itulah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Jawa Tengah cepat menangkap instruksi presiden. Yaitu dengan menggandeng Mahasiswa KKN dalam program pemberantasan PBA tersebut. “Targetnya, setahun lagi tak ada penyandang buta aksara di Jateng,” tegas Jasman.

Sebelumnya, program serupa juga telah digalakkan. Yaitu dengan menggandeng berbagai organisasi seperti PKK, Muslimat, Aisyiyah, Fatayat NU dan sebagainya. “KKN ini merupakan salah satu cara agar lebih efisien dalam penuntasan buta aksara,” timpal Suwahyo, staf di PLS Diknas Jateng.

Model KKN PBA
Jelas ada yang beda dalam KKN PBA. Mahasiswa bisa berlega hati, karena tidak usah memikirkan membantu pembangunan fisk di Desa tempat mereka KKN.
Dalam KKN yang bekerja sama dengan Forkom (Forum Komunikasi) KKN Jateng ini, seluruh konsep, pengorganisasian dan koordinasinya diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing.

Ketua Forkom KKN Jateng Drs Subagyo M.Pd. mengatakan, konsep KKN PBA adalah mahasiswa diberi tugas khusus untuk melakukan bimbingan kepada masyarakat. “Dua mahasiswa membimbing satu kelompok belajar yang terdiri dari dua puluh warga.”
Tidak hanya dalam praktek di lapangan yang berbeda. Biaya dalam KKN PBA ini juga relative lebih ringan jika dibandingkan dengan KKN yang selama ini berlaku.

Jika dalam model KKN yang selama ini berlangsung mahasiswa harus merogoh kocek yang tidak sedikit, yang bisa mencapai pulahn juta, KKN PBA biayanya ditanggung oleh Pemerintah.
“Tahun 2007 ini Pemprov menyediakan 33 Milyar rupiah untuk KKN PBA ini. Perguruan tinggi hanya pelaksana,” tuturnya.

Mengenai besarnya biaya yang diterima oleh masing-masing perguruan tinggi, tergantung jumlah mahasiswa yang diterjunkan dalam KKN. Ukurannya adalah kelompok. Satu kelompok belajar terdiri dari 2 mahasiswa dengan anggaran Rp.3.320.000.
Karena itu, lanjut Jasman, untuk mengetahui jumlah subsidi per perguruan tinggi, tinggal mengalikan saja dengan jumlah mahasiswa peserta KKN yang ada.
“Kegiatan lain yang berhubungan dengan KKN, semuanya sudah ada anggaranya sendiri dan sudah diperhitungkan. Mulai pembekalan, transportasi, monitoring, semuanya sudah ada,” jelasnya.

Mudhofi kepada AMANAT menjelaskan, uang Rp.3.320.000 itu kegunaanya bukan cuma untuk mahasiswa, tapi untuk kebutuhan lain seperti living kost dan transport per mahasiswa sebesar 500.000 rupiah, jaket, topi almamater, buku panduan, alat tulis kantor (ATK) warga belajar, pembekalan, bahan anggaran pelaksanaan pengajaran, evaluasi, laporan akhir kegiatan dan transport monitoring untuk DPL.

“Di IAIN Walisongo ada 18 DPL. Tiap memonitoring dianggarkan Rp. 320.000 per DPL. Padahal tiap DPL wajib memonitoring sebanyak tujuh kali,” tambah Mudhofi.
Dan untuk tahun ini, tambah dosen Dakwah ini, IAIN Walisongo menerjunkan 360 mahasiswa di kabupaten Kendal yang tersebar di enam kecamatan, yaitu Sukerojo, Pageruyung, Plantungan, Gemuh, Ringin Arum dan Weleri. “Penempatan ini ditentukan oleh Dinas. Kita hanya pelaksana.”

Transparansi dana
Meski dana KKN PBA sudah di tanggung Pemprov., namun ternyata mahasiswa harus bayar juga. Selain itu, dana dari Pemprov juga disunat oleh pihak kampus.
Di IAIN Walisongo, peserta KKN hanya menerima Rp. 450.000 dari Rp. 500.000 yang seharusnya diterima. Sebelumnya, mahasiswa juga ditarik Rp.200.000. “Katanya untuk bayar transportasi,” kata salah seorang peserta.
Usut punya usut, uang Rp.50.000 yang disunat dari dana yang harus diterimakan kepada mahasiswa, adalah untuk biaya transportasi. “Lalu untuk apa uang 200.000 itu?” timpal peserta KKN yang lain.

Tak pelak, hal itu memunculkan pertanyaan diantara peserta KKN. Karena dana itu belum ada kejelasannya hingga sekarang. “Uang dua ratus ribu itu belum adapenjelasannya,” ungkap Zaqy Mubarok yang dibenarkan oleh Sidli Richanah.
Drs. Suriadi, MA., ketua PPM ini memang mengatakan, bahwa uang itu kembali kepada mahasiswa. Namun tidak dijelaskan secara rinci dalam bentuk apa.

Sementara Mudhofi mengatakan, uang itu digunakan untuk asuransi, konsumsi 7 kali dalam rapat koordinasi, Rp.100.000 untuk transport koordinator desa, Rp.150.000 untuk transport koordinator kecamatan, dan kunjungan kerja KKN.

Ketika AMANAT mencoba melakukan konfirmasi ke perguruan tinggi lain, memang ada yang membayar, tapi tidak sebesar IAIN. “Di UNNES ada biaya tambahan, tapi sedikit,” ungkap Subagyo dari Universitas Negeri Semarang ketika di hubungi via telepon..
Sementara perguruan tinggi lain, banyak yang gratis sama sekali seperti Universitas Muria Kudus (UMK).

Mahasiswa Bingung
Persoalan yang muncul dalam KKN model baru ini, tidak berhenti di sini. Karena tuntutan lain menghadap ketika para mahasiswa itu sudah diterjunkan ditengah-tengah masyarakat.

Persoalan itu adalah tuntutan bahwa satu mahasiswa harus bisa menuntaskan 10 warga buta aksara. Kalau IAIN Walisongo menerjunkan 360 mahasiwa, 3600 penyandang buta aksara harus bisa dientaskan.

“Mahasiswa diterjunkan di Desa selama 45 hari dan harus menyelesaikan kegiatan belajar mengajar kepada warga penyandang buta aksara selama 144 jam. Kalau tidak bisa dibuat kelas, mahasiswa harus mengajar dari rumah ke rumah,” ujar Jasman.
Kategori warga penyandang buta aksara, seperti dijelaskan dalam buku panduan, adalah orang yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung sama sekali ataupun mereka yang drop out kelas 1-3 Sekolah Dasar (SD).

Persoalannya, data penyandang buta aksara yang diberikan Diknas, belum tentu valid. Ini tentu membingungkan mahasiswa di lapangan. “Ketika saya cek warga yang ada di daftar, di lapangan banyak yang tidak ada orangnya,” keluh Muhammad Yusuf, peserta KKN di Desa Cepoko Mulyo Gemuh Kendal.

Akhirnya, Yusuf bersama kawan-kawan satu posko pun melakukan pendaftaran dan cek ulang terhadap data-data yang ada. Yaitu dengan mendatangi warga dari rumah ke rumah.

Parahnya lagi, tak sedikit daftar penyandang buta aksara yang diberikan Diknas, sudah ditangani oleh Fatayat NU, Aisyiah dan PKK. “Jadinya ya rebutan,” kata Yusuf.
Yang tragis, adanya penolakan terhadap tim KKN PBA. Seperti yang terjadi di Desa Gebang, Tlahap, Gemuh, Kendal, dengan alasan tidak mau menerima delegasi dari pemerintah.

Ya, suka duka KKN PBA itu, memang resiko. Tapi yang jelas, semoga ini bukanlah proyek semata atau bahkan kelinci percobaan dari sebuah program, dengan mahasiswa sebagai tumbalnya. (Amin Fauzi)

* Tulisan ini juga diterbitkan di tabloid edisi 109 SKM AMANAT IAIN Walisongo Semarang


0 comments: