PENDIDIKAN PRASEKOLAH
ANALISIS PENGARUH MODEL PENDIDIKAN PRASEKOLAH PADA PEMBENTUKAN ANAK SEHAT, CERDAS DAN BERKARAKTER SECARA BERKELANJUTAN
Resume Disertasi DR. DWI HASTUTI
Rendahnya kualitas SDM bangsa berhubungan dengan program pembangunan yang selama ini dijalankan. Mengingat permasalahan gizi dan kesehatan anak di Indonesia masih cukup parah, maka berbagai upaya yang dilakukan pemerintah bagi pembentukan kualitas manusia umumnya masih terfokus pada upaya perbaikan gizi dan kesehatan dasar untuk “survival”, yaitu bagaimana bangsa ini lepas dari masalah gizi buruk dan kematian bayi dan anak yang tinggi. Meskipun sudah sejak tahun 90-an Myers (1992) mengungkapkan pentingnya penanganan secara terpadu tumbuh kembang anak melalui program ”early child development program”, dengan menjadikan aspek gizi, kesehatan dan psikososial sebagai ”entry-point” namun perbaikan mutu psikososial anak di Indonesia masih terabaikan (Djalal 2002, Megawangi 2004).
Azra (2002) menyatakan bahwa belum terbentuknya karakter dan kepribadian bangsa saat ini juga berhubungan dengan kegagalan sistem pendidikan , sebagaimana dinyatakannya berikut ini :
”Bahkan, dan ini yang terpenting dalam konteks pembahasan sekarang- pendidikan nasional bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian bangsa (nation and character building)”.
Terlepas dari segala keterbatasan dan kelemahan sistem pendidikan yang telah dikemukakan di atas, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, sejak tahun 1990-an telah berupaya membina dan menyebarluaskan penanganan terpadu bagi anak usia dini melalui program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini, dahulu disebut PADU). Program tersebut mencakup pendidikan bagi anak usia dini termasuk kepada masyarakat kelas bawah melalui dana rintisan PAUD. Namun dilaporkan bahwa program PAUD lamban berkembang karena antara lain masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD bagi perkembangan anak, masih rendahnya aparat pembinan dan tenaga kependidikan PAUD, luasnya wilayah yang harus dilayani, dan kurangnya lembaga pendidikan yang berminat menyelenggarakan PAUD (Djalal 2002).
Tingkat partisipasi kasar pendidikan anak usia dini di Indonesia juga masih rendah, yaitu hanya 27 persen[2] anak usia 2 hingga 6 tahun yang dapat mengikuti pendidikan anak usia dini, sementara di Malaysia misalnya pelayanan PAUD telah mencakup 70 persen anak. (Depdiknas 2002). UNESCO bahkan melaporkan angka yang lebih rendah yaitu hanya 20 persen[3], dengan partisipasi pihak swasta mencapai 99 persen (UNESCO, 2005). Keberadaan lembaga PAUD seperti TK/RA, kelompok bermain maupun TPA lebih sulit terjangkau oleh keluarga tak mampu karena biaya pendidikan yang relatif mahal. Sejalan dengan misi program PAUD, maka sejak tahun 2001 The Indonesia Heritage Foundation (IHF)[4] turut memberikan sumbangan bagi terbentuknya kualitas anak usia dini dengan mendirikan Kelompok Prasekolah Semai Benih Bangsa (KP-SBB) yang khusus diperuntukkan bagi anak dari keluarga tak mampu. KP-SBB menggunakan metode belajar sesuai kaidah pembelajaran yang patut (developmentally appropriate practices) dan pendidikan karakter secara eksplisit dalam kurikulumnya. Hal ini diterapkan sesuai anjuran Lickona (1992) bahwa untuk membentuk manusia berkualitas diperlukan pendidikan karakter yang mencakup tiga dimensi, yaitu pengetahuan, perasaan dan perilaku penuh kebajikan yang terus dilatihkan kepada anak. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan kualitas tumbuh kembang dari anak-anak yang mengalami pendidikan TK dan mengalami pendidikan KP-SBB, serta anak-anak yang tidak pernah mengalami pendidikan apapun selama periode masa prasekolahnya.
Perumusan Masalah
Megawangi (2004) menyatakan bahwa sekarang telah ada pergeseran paradigma dalam memandang mutu modal manusia dalam konteks “child development”, yaitu berubahnya konsep yang terfragmentasi hanya dari segi fisik saja (kesehatan dan gizi) kepada konsep yang melihat perkembangan anak secara utuh (holistic) mulai dari aspek mental, dan kecerdasan emosinya.
Adanya pergeseran paradigma pendidikan kepada pendidikan holistik menurut Megawangi (2004) dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kurikulum yang terintegrasi. Dengan konsep pendidikan holistik berbasis karakter KP-SBB menerapkan pembentukan karakter dan kecerdasan kepada anak dengan menggunakan kaidah Developmentally Appropriate Practices (DAP). Melalui metode belajar aktif dan kontekstual, serta sesuai dengan tahapan usianya maka anak diajarkan berpikir, merasakan dan melaksanakan perbuatan baik secara terstruktur melalui pilar karakter yang diajarkan secara sistematis melalui Satuan Kegiatan Harian (SKH), Satuan Kegiatan Mingguan (SKM), dan Satuan Kegiatan Semesteran (SKS).
Jika pendidikan holistik berbasis karakter telah dilaksanakan dengan baik diduga efek dari pendidikan ini akan melekat pada karakter dan kecerdasan anak, bahkan setelah anak menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun seberapa kuat efek tidur (sleeper-effect) ini terhadap kecerdasan dan karakter anak di masa selanjutnya? Beberapa peneliti menyebutkan adanya efek jangka panjang dari pendidikan prasekolah pada perkembangan kognitif dan sosial emosi hingga usia dewasa (Berrueta-Clement,et.al.1985; Powell 1986; Stalling & Stipek 1986; Schweinhart 1985, Featherstone 1986; Lazar & Darlington 1982).
Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini dengan demikian berhubungan dengan apakah institusi pra-sekolah yang menerapkan pendidikan holistik secara eksplisit lebih baik dibandingkan institusi prasekolah lainnya? Seberapa efektifkah model pendidikan prasekolah guna membentuk anak yang cerdas, sehat dan berkarakter? Bagaimanakah pengaruh peran keluarga dalam membentuk kualitas anak? Adakah perbedaannya bila dibandingkan dengan pendekatan tanpa sekolah atau parental care dirumah? Oleh karena itulah penelitian tentang efek pendidikan holistik berbasis karakter melalui KP-SBB atau Taman Kanak-kanak lainnya terhadap perkembangan fisik, emosi, sosial, dan karakter anak perlu untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh model pendidikan pra-sekolah terhadap terbentuknya anak sehat, cerdas dan berkarakter. Sedangkan tujuan khusus adalah:
(1) Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan anak, kondisi psikologis dan interaksi ibu-anak terhadap kualitas anak
(2) Menganalisis perbedaan kualitas tumbuh kembang (status kesehatan dan gizi, kecerdasan majemuk dan karakter) anak yang bersekolah dan tidak bersekolah di kelompok prasekolah Semai Benih Bangsa (SBB) serta faktor yang mempengaruhinya.
(3) Menganalisis perbedaan karakteristik lingkungan sekolah dan metode pengajaran dari sekolah yang menerapkan dan tidak menerapkan pendidikan holistik berbasis karakater dan pengaruhnya terhadap kecerdasan dan karakter anak.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan kepada guru atau fasilitator PAUD tentang pendekatan pendidikan yang tepat serta menyeluruh bagi seluruh dimensi perkembangan anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pendidik bahwa stimulasi perkembangan fisik, emosi, sosial, dan moral serta karakter anak dapat dilakukan meski dengan biaya yang amat terbatas, dengan sarana belajar dan alat yang sederhana, selama pendekatan pendidikan holistik diterapkan dalam proses belajar mengajar tersebut. Bagi Direktorat PAUD dan Direktorat TK/SD, Departemen Pendidikan Nasional maka hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan agar anak usia pra-sekolah di seluruh Indonesia memperoleh lebih banyak keuntungan dengan diterapkannya metode pendidikan yang lebih baik, dan model pendidikan ini dapat disebarluaskan bagi model PAUD di seluruh Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakter
Karakter atau character berasal dari bahasa Perancis tengah ”caractere”, dan dari bahasa Latin character yang berarti ”mark, distinctive quality”, dan dari bahasa Yunani yaitu “charassein” yang artinya memberi ”to scratch or to engrave” (Bohlin, Farmer, Ryan, 2001). Maknanya dapat merupakan karakteristik seseorang : the sum total of the distinguishing qualities of a person, atau merupakan gambaran dari ”moral excellence and strength” (Webster 1993).
Lawrence Kohlberg, adalah orang pertama yang dalam thesisnya membahas secara khusus perkembangan moral manusia dengan menyempurnakan pemikiran Jean Piaget (Lickona 1983, 1992, Vasta, Haith, Miller 1990). Dengan menyempurnakan teori moral yang dicetuskan oleh Kohlberg, Lickona menyarikan tahapan perkembangan moral manusia kepada lima tahap mulai tahap egosentris, hingga tahap tertinggi yaitu tahap prinsip nurani sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.
Thomas Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas 3 bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). Kerangka hubungan dari komponen karakter diuraikan melalui gambar 1 (Lickona 1992, Lickona 2004).
MORAL KNOWING 1. Moral awareness 2. Knowing moral values 3. Perspective taking 4. Moral reasoning 5. Decision making 6.Self-knowledge
|
MORAL FEELING 1. Conscience 2. Self-esteem 3. Empathy 4. Loving the good 5. Self-control 6. Humility |
MORAL ACTION 1.Competence 2.Will 3.Habit |
Gambar 1. Komponen dari Karakter (Lickona, 1992)
Tabel 1 Tahapan Perkembangan Moral
Tahap menurut Kohlberg | Perkembangan Moral | Tahap menurut Lickona | Perkembangan Karakter |
Pre-conventional stage 1)hetero-nomous | Anak cenderung egosentris, beranggapan perasaannya dapat dimengerti orang lain (kunci: atoritas dan kekuatan) | STAGE 0 Egocentric reasoning (pra-sekolah-4 tahun) | Apa yang benar : saya harus mendapatkan apa yang saya mau Alasan untuk menjadi baik : mendapat imbalan/pujian dan menghindari hukuman |
2)individualism /instrumental | Anak memahami orang lain mempunyai kebutuhan dan pandangan yg berbeda-beda (kunci: penghargaan) | STAGE 1 Unquestioning obedience (Usia TK) | harus melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari kesalahan/ masalah |
Conventional stage : 3) inter- personal conformity | Anak baik saat disukai oleh orang lain | STAGE 2 What’s in it for me fairness (Usia SD)
| harus mementingkan diri saya, tapi harus bersikap baik kepada orang lain yang baik pada saya Minat diri: ada apa untuk saya |
Perkembangan Sosial-Emosi Anak
Teori Erikson yang dikenal sebagai teori psikososial berpandangan bahwa sumber utama perkembangan anak adalah ego dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya, mengingat keluarga adalah lingkungan yang langsung dan pertama. Menurut Erikson, tahapan perkembangan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan asumsi bahwa : 1) Anak dilahirkan dengan kecenderungan baik; 2) Faktor lingkungan berperan utama dalam perkembangan anak; 3) Anak berperan aktif dalam proses perkembangannya; 4) Perkembangan berjalan dalam tahapan menurut umur; dan 5) Tahapan perkembangan umumnya sama untuk semua anak. Untuk itu Erikson mengelompokkan perkembangan manusia sesuai periode umurnya (Zigler & Stevenson 2000).
Tabel 2. Tahapan Perkembangan Psikososial menurut Erikson
Tahapan Perkembangan | Umur | Elemen untuk Hasil Positif |
1.Trust vs Mistrust | Masa bayi | Bayi membutuhkan gizi dan perawatan serta kasih sayang, tanggung jawab orangtua dan konsistensi pengasuhan dari orangtua. |
2. Autonomy vs. Shame & Doubt | Masa baduta | Kontrol yang lebih baik terhadap diri sendiri dalam lingkungannya, mulai belajar makan, kontrol pembuangan, berpakaian. Orangtua meyakinkan bahwa anak bisa, dan menghindari terlalu bersikap melindungi |
3. Initative vs Guilt | Masa prasekolah | Menjalankan aktivitas diri, belajar menerima tanpa rasa salah jika tidak dapat mencapainya, imajinasi, bermain peran seperti orang dewasa. Belajar inisiatif bukan hanya meniru, terbentuknya nurani dan identitas seksual |
4. Industry vs inferiority | Masa sekolah | Menemukan kesenangan dan produktif, bertetangga, menjalin hubungan dengan teman sebaya, interaksi di sekolah. Belajar kepercayaan diri dengan meningkatkan keterampilan |
Perkembangan Kecerdasan/Intelektual
Kecerdasan berhubungan dengan memori/daya ingat, kreativitas, dan hasil test IQ yang diperoleh seseorang, atau merupakan kemampuan menjelaskan seseorang. Menurut Piaget kecerdasan atau intelligence adalah unsur biologis tertentu yang beradaptasi. Dijelaskan bahwa pencapaian biologis tersebut memungkinkan manusia untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya pada tahapan psikologis tertentu; sebagaimana dinyatakan oleh Piaget: ”intelligence is one kind of biological achievement, which allows the individual to interact effectively with the environment at a psychological level” (Ginsburg and Opper, 1979).
Tahap perkembangan kecerdasan menurut Piaget mencakup empat tahap sesuai dengan perkembangan kronologis usianya, yaitu : 1) Tahap sensorimotor (0-2 tahun) yaitu tahapan mengenal konsep tentang objek, sebagai bagian sangat awal dari pembentukan kognisi anak, sebagai tahap penyesuaian diri terhadap dunia eksternal, penggunaan dan peniruan model, sebagai tahap lanjut pemahaman dunia luar; 2) Tahap Pra-operasional (2-7 tahun) ditandai dengan berkembangnya fungsi semiotik dengan pembentukan simbol-simbol mental awal yang subyektif dan kongkret, dengan tiga cara penalaran anak, yaitu penalaran melalui contoh kongkret, melalui distorsi kenyataan dan penalaran transduktif; 3) Tahap-Operasional Kongkret (7-11 tahun) yaitu periode untuk mencapai kemampuan penanganan konsep, seperti : konservasi, hubungan serial dan ordinal, hubungan timbal-balik serta klasifikasi dua-arah; dan 4) Tahap Operasional Formal (11 tahun-dewasa) yang merupakan tahap akhir perkembangan mental anak ke arah cara berfikir yang lebih proposional dan abstrak (Santrock 1997; Zigler & Stevenson 2000).
Kecerdasan Majemuk
Menurut Gardner kecerdasan adalah ”kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah, dan menghasilkan berbagi produk atau jasa yang berguna dalam berbagai aspek kehidupan”. Kecerdasan adalah kombinasi dari berbagai kemampuan umum dan spesifik, yang oleh Gardner disebut kecerdasan majemuk (multiple intellegence). Konsep ini berbeda dengan IQ yang hanya melibatkan aspek kemampuan bahasa, logika, matematika dan kadang spasial. Menurut Gardner (1993) paling sedikit terdapat tujuh domain kecerdasan yang dimiliki oleh semua orang termasuk anak. Ketujuh domain itu adalah: 1) kecerdasan musikal; 2) Kecerdasan kinestetik tubuh; 3) Kecerdasan visio-spasial; 4) Kecerdasan logika matematika; 5) Kecerdasan verbal bahasa; 6) Kecerdasan interpersonal; 7) Kecerdasan intrapersonal. Gardner berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai ketujuh aspek kecerdasan ini dengan kadar yang bervariasi dan kompisisi yang berbeda-beda. Seluruh aspek kecerdasan tersebut ada pada bagian otak yang berbeda dan dapat bekerja secara sendiri atau secara bersamaan. Menurut Gardner seseorang tampak mulai menunjukkan perilaku kecenderungan (inklinasi) terhadap kecerdasan tertentu sejak usia yang masih sangat muda (Armstrong 2004)[5].
0 comments:
Posting Komentar